FILM | Berdamai Dengan Masa Lalu

 BERDAMAI DENGAN MASA LALU: 

GEDORAN DEPOK (2019)  DAN TRAUMA ANTARGENERASI

Screenshot film Gedoran Depok (2019)

Salah satu tanggung jawab utama yang mengikat  seniman adalah menjadi cerminan bagi masyarakat pada waktunya. Selain mengekspresikan akal dan budi mereka juga bertugas menggambarkan perkembangannya dari waktu ke waktu. 

Memori kolektif merupakan penerjemahan masa lalu sebuah komunitas yang membentuk identitas kolektif kelompok tersebut (Hallbwachs, 1950). Sebuah ide yang diubah menjadi bentuk ekspresif yang bermakna dapat menunjukkan raga dan jiwa sebuah komunitas. Mengasumsikan bahwa sebuah kelompok memang anak dari perkawinan dari memori dan rangkaian peristiwa, maka inti dari esai ini akan berfokus untuk melihat penguraian memori kolektif melalui sebuah medium seni, yakni film dokumenter pendek.

Memori kolektif dan identitas sebuah masyarakat merupakan sifat yang inheren dalam setiap bentuk seni: baik melalui oral dan teks tertulis hingga medium visual seperti lukisan, mural, dan film. Tetapi perlu diingat bahwa memori kolektif baru dianggap ‘kolektif’ jika ingatan tersebut dimiliki secara ramai-ramai dan menjadi patokan identitas sebuah kelompok. Maka dari itu seorang seniman yang terpapar oleh informasi, emosi, nilai dan keyakinan yang ditanam secara perlahan melalui interaksi sosial akan mematangkan identitas seorang sebagai anggota kelompok tersebut. 

Dalam esai ini penulis hanya akan menyinggung bagaimana aspek produksi film dalam menjabarkan kengerian dan kenestapaan masa lalu. Melalui karya ini, penulis berharap dapat memberikan sebuah analisis bagaimana teknikalitas produksi film dan medium film sendiri dapat mencerminkan pengalaman traumatis dapat membentuk identitas sebuah kelompok, terutama di Indonesia pada masa post-kolonial belanda hingga detik ini.

Analisis yang akan dijabarkan oleh penulis terkait trauma kolektif dalam masyarakat post-kolonial di Indonesia akan ditinjau melalui kajian sebuah film dokumenter pendek dengan judul Gedoran Depok (Zarkasih, 2019). Alasan dibalik pemilihan film pendek dapat dijelaskan dalam dua hal: perihal kebaruan dan kedekatan. Peristiwa dibalik film ini baru terkuak tahun 2011 lalu, dan berhubung pengalaman penulis yang erat dengan kota latar film yang diangkat. 

Sinema, Memori, Olahraga Empati

Bagi masyarakat yang pernah ditindas, pandangan mereka terhadap pelaku, semua ingatan tentang penindasan dan kebencian, sampai saat ini masih menghantui kehidupan mereka. Secara tidak sadar, memori yang dialami secara ramai-ramai ini membentuk budaya dan identitas mereka. 

Sangat disayangkan kalau variabel yang melekat dalam benak mereka tidak jauh dari pengalaman traumatis yang harus mereka lalui. Tak jauh beda dengan penindasan bangsa kolonial, kekerasan yang dilakukan oleh kawan sebangsa memunculkan efek samping lain yang beragam. 

Seniman yang menyusun film ini bukan merupakan subjek yang terpapar oleh kejadian yang digambarkan, melainkan warga daerah tetangga. Namun penulis menganggap bahwa hal ini merupakan bentuk solidaritas satu nusa satu bangsa, dan sebuah penyelidikan terkait pelanggaran hak dan penderitaan masa lalu mereka.

Trauma “Belanda Depok”

Gedoran Depok (2019) mengantarkan audiens di baris depan teater genosida yang lama terselubung, dan darah merah putih yang bercucuran akhirnya terungkap muaranya. Sutradara asal Bogor, Bobby Zarkasih, mengantarkan kita kepada masa transisional Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) dari cengkraman belanda. 

Memang kemerdekaan negara ini telah dikumandangkan 75 tahun yang lalu, saat Bung Karno membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945. Tetapi deklarasi tersebut tidak menenangkan amarah buta rakyat sipil, karena sejarah menyimpan kenangan berdarah yang mengatasnamakan “revolusi”. 

Peluru salah sasaran ini meleset ke penduduk asli Depok, karena malangnya, pekik “Merdeka” tak kunjung bergema di kota belimbing. Memang saat itu, kedaulatan belum diakui dan tak satupun bendera pusaka terlihat mengudara. Semesta menyimpan sesuatu di belakang punggungnya, ujian terakhir sebagai penutup tahun. 

Thesaurus warga Depok tak mengenal relasi antara kemerdekaan dengan selebrasi. Tahun 1945, tepatnya pada 11 Oktober merupakan momen yang mencekam dan memilukan bagi mereka yang menjadi sasaran. Kala itu, Depok diserbu oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR), sebuah pasukan yang mengatasnamakan “pembersihan kaki tangan belanda dari tanah air”. Mereka menjarah dan membakar Depok habis-habisan. Para pria dikirim ke penjara dan perempuan dan anak-anak ditawan di balai kota. Perselisihan ini kemudian dikenal dengan “Gedoran Depok”

Ambisi buta pasukan Indonesia ini berimbas kepada warga Depok yang dianggap nonpribumi. Heran mengapa hidup serba berkecukupan, tidur beratapkan sirap, dan utamanya berbahasa belanda tiap hari. Rumpun “Belanda Depok” diperlakukan secara keji, dituduh antek-antek belanda padahal tidak sedikitpun darah Belanda mengalir di tubuh mereka. “Belanda Depok” seratus persen suku asli ibu pertiwi. 

Mereka hanyalah budak yang berasal dari penjuru Indonesia. Ada yang dari bali, dan beberapa dari Indonesia timur. Baru kemudian mereka dibawa oleh tuan tanah orang belanda bernama, Cornelis Chastelein. Disamping bekerja mereka juga diajarkan agama kristen protestan,  diberi ijin mengenyam pendidikan belanda, dibalut pakaian belanda, dan seterusnya. Di dalam surat wasiat Cornelis Chastelein, kelak di kemudian hari setelah ia menarik nafas terakhir, tanah Depok ini akan diwariskan kepada seluruh budaknya. 

Bobby Zarkasih dalam filmnya Gedoran Depok (2019) mengajak penonton untuk mengenang kegaduhan ini melalui reka ulang dan foto arsip pribadi para korban. Bobby juga menyertakan tanggapan ahli sejarah, yakni Dr. Tri Wahyuning M. Irsyamm MSi. Beeliau merupakan sejarawan Universitas Indonesia yang dapat menceritakan nuansa kegaduhan kala itu.

Film ini juga menghadirkan beberapa sepuh dan keturunan penyintas Gedoran Depok untuk membawa perspektif langsung dari rumpun yang dirugikan. Mereka bergantian bercerita dengan gaya editing vox pop berhasil membangun gravitas keteledoran pasukan Indonesia yang parah. Pengalaman tangan pertama yang diiringi dengan montase peragaan ulang menggarisbawahi trauma para penyintas yang mendalam. Waktu memang menyembuhkan semua luka seperti yang mereka katakan, bagaimana dengan bekas luka? Tentu tidak. Mimpi buruk ini masih terngiang-ngiang dalam benak mereka.

Perasaan ngilu dan kengerian itulah yang masih membekas pada sepuh dan keturunan para penyintas. Mereka enggan buka suara tentang rasa sakit goresan masa lalu. Memori rasa sakit yang tak bisa dilepaskan, namun enggan dilupakan. Selama ini para penyintas membisu dan menolak untuk menceritakan peristiwa gelap ini. Sejarah yang lama terbungkam ini baru terkuak oleh reportase sejarah tulisan Wenri Wahar berjudul yang sama, Gedoran Depok (2011).

Film ini berhasil membuktikan sinema sebagai olahraga empati, karena kita dapat menempatkan diri di sepatu para penyintas disaat mereka perlahan membuka guncangan mental dan kisah pilu saat bercerita. Film ini merupakan tindakan melepaskan. Dengan mengakui rasa sakit dan membuka diri, mereka berharap dapat mengikhlaskan kezaliman yang mereka alami. Dengan merevisi babak sebelumnya dalam buku sejarah, mereka harap dapat menemukan kedamaian. 

Momen ini merupakan memori yang seharusnya tidak dilepaskan, perlu diakui dan diabadikan. Melalui film ini Bobby Zarkasih menawarkan perspektif orang pertama korban keteledoran negara kita. Dengan ini Gedoran Depok mengajak kita untuk merefleksikan pondasi dimana negara ini dibangun. 

Daftar Pustaka

Hallbwachs, M. (1950). Collective Memory. New York: Harper & Row.

Zarkasih, B. (Director). (2019). Gedoran Depok [Video file].


Comments